Lompat ke konten
Home » Blog » 8 Suku yang Ada di Bangka Belitung Hingga Saat Ini

8 Suku yang Ada di Bangka Belitung Hingga Saat Ini

suku yang ada di bangka belitung

Suku yang ada di Bangka Belitung mungkin banyak orang yang belum mengetahuinya. Kepulauan Bangka Belitung adalah provinsi Indonesia yang terkenal dengan keindahan alamnya, terutama di dua pulau utamanya, Bangka dan Belitung. Selain itu, provinsi ini juga kaya akan keberagaman budaya, dengan berbagai suku bangsa yang mendiami wilayah ini.

Setiap suku di Bangka Belitung memiliki keunikan dan ciri khas yang menarik untuk dipelajari. Jika Anda penasaran dengan suku-suku yang ada di Kepulauan Bangkka Belitung, Anda bisa membaca tulisan ini. Kami telah merangkum terkait suku yang ada di Bangka Belitung secara lengkap dan jelas.

Suku yang Ada di Bangka Belitung

Provinsi Bangka Belitung terletak di sebelah selatan Pulau Sumatera. Sebelumnya, Kepulauan Bangka Belitung merupakan wilayah administratif Provinsi Sumatera Selatan. Namun, pada tahun 2000, Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi mandiri dengan Pangkalpinang sebagai ibu kotanya.

Luas wilayahnya mencapai 16.424 km2 dan terdiri dari delapan kota atau kabupaten. Kabupaten Bangka Selatan merupakan yang terluas dengan luas wilayah mencapai 3.607 km2. Penduduk Kepulauan Bangka Belitung mencapai lebih dari 1,437 juta orang.

Wilayah ini dihuni oleh beragam suku, baik suku asli Bangka Belitung maupun suku-suku pendatang. Masyarakatnya sangat beraneka ragam, mencakup berbagai suku termasuk Melayu yang mendominasi populasi. Selain mengetahui wisata Belitung, alangkah baiknya Anda juga mengetahui suku-suku yang ada di Kepulauan Bangka Belitung.

Nah berikut adalah beberapa suku yang ada di Bangka Belitung, mencakup suku asli dan suku-suku pendatang:

1. Suku Ameng Sewang

Suku Ameng Sewang adalah suku yang mendiami perairan sekitar Belitung di provinsi Bangka Belitung, umumnya terdiri dari nelayan dan pencari ikan. Mereka menjalani kehidupan yang tidak menetap, seringkali berpindah ke lokasi dengan potensi hasil ikan yang lebih besar saat air sedang surut.

Karena pola hidup yang berpindah-pindah, suku Ameng Sewang cenderung tidak memiliki tempat tinggal permanen. Gubuk-gubuk kecil dibangun di pinggir pesisir atau mereka mendiami sampan-sampan di daerah pantai. Saat tidak sibuk memancing, mereka sering berkumpul di pinggir pantai, merokok bersama seluruh anggota keluarga.

Mayoritas anggota suku Ameng Sewang menganut agama Islam, sehingga konsumsi minuman keras, bahkan tuak nira, dihindari. Masyarakat ini memiliki kecenderungan menyukai rokok dan tidak ragu untuk menghabiskan beberapa bungkus rokok setiap hari.

2. Suku Sekak

Suku Sekak juga merupakan bagian penting dari keragaman suku yang ada di Bangka Belitung hingga saat ini. Mereka termasuk dalam sub-Suku Orang Laut Bangka Belitung yang telah mengadopsi gaya hidup modern.

Berdasarkan informasi terkini, Suku Sekak telah mengubah mata pencaharian mereka dari nelayan dan penangkap ikan menjadi petani dan berkebun. Kelompok masyarakat ini aktif menggarap lahan yang diberikan oleh pemerintah setelah mereka pindah ke daratan pada tahun 1973.

Sekarang, Suku Sekak tidak hanya bergantung pada pertanian dan berkebun sebagai sumber penghidupan mereka. Sebagian besar juga terlibat dalam kegiatan pertambangan, terutama di sektor tambang timah yang dikelola oleh perusahaan swasta.

Transformasi ini telah mengubah Suku Sekak dari suku yang terisolasi menjadi bagian yang terintegrasi dalam masyarakat Provinsi Bangka Belitung.

3. Suku Bangsa Lom

Suku Bangsa Lom memiliki sejarah panjang sebagai salah satu suku tertua di wilayah tersebut. Menurut catatan sejarah, mereka dapat ditelusuri kembali ke Kerajaan Majapahit. Di mana asal-usul mereka dapat ditarik dari kelompok yang melarikan diri karena enggan memeluk agama Islam.

Sebagai akibat dari sejarah mereka, Suku Bangsa Lom cenderung memilih tinggal di wilayah pedalaman dan hutan, menjauhi interaksi dengan masyarakat sekitar. Pada tahun 1973, terjadi pemecahan dalam suku ini, terbagi menjadi dua kelompok: Suku Lom Luar dan Suku Lom Dalam.

Suku Lom Luar adalah bagian dari Suku Lom yang menuruni pegunungan setelah lahan baru dibuka untuk pemukiman. Saat ini, mereka telah berintegrasi dengan masyarakat umum, mengadopsi gaya hidup dan kebiasaan lokal. Populasi Suku Lom Luar telah meningkat menjadi 130 orang, dari belasan orang pada tahun 1973.

Di sisi lain, Suku Lom Dalam tetap hidup terasing di dalam hutan, menolak untuk bergabung dengan masyarakat umum. Mereka tetap menjaga jarak dengan orang luar, bahkan antar kampung mereka sendiri memiliki jarak yang yang cukup jauh, mencapai 5 km.

Dinamika ini menggambarkan perubahan besar dalam kehidupan Suku Bangsa Lom seiring waktu, dengan sebagian berhasil beradaptasi dan berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Sementara yang lain tetap mempertahankan gaya hidup terpencil mereka.

Baca Juga: Mengenal Kota Belitung dan 8 Julukannya

4. Suku Sakai

Salah satu suku di Bangka Belitung adalah Sakai. Generasi kedua dari kelompok masyarakat ini telah menetap di Pulau Bangka, dan sering disebut sebagai Suku Sakai modern oleh penduduk Belitung. Awalnya, Suku Sakai ini berprofesi sebagai pencari ikan di wilayah tersebut.

Namun, seiring dengan implementasi program pembangunan wilayah terpencil pada tahun 1970-an, mereka beralih dari kegiatan melaut. Sebaliknya, fokus mereka beralih ke bercocok tanam dan berkebun palawija. Potret ini mencerminkan perubahan gaya hidup Suku Sakai di Bangka Belitung.

5. Suku Melayu

Suku terbesar di Bangka Belitung adalah Suku Melayu, sedangkan suku lain seperti Arab dan Tionghoa berada di bawahnya. Menariknya, sebagian besar anggota Suku Melayu ini berbicara dalam dialek Belitung. Meskipun kelompok masyarakat ini tersebar di seluruh provinsi termasuk Pulau Bangka yang memiliki dialek khusus.

Suku Melayu di Bangka Belitung, terutama di Kota Pangkalpinang, diakui sebagai penduduk asli. Eva Warni, dalam bukunya “Hubungan Antar Suku Bangsa di Kota Pangkalpinang,” menyebutkan bahwa Suku Melayu merupakan kelompok sosial asli yang mendominasi sebagian besar wilayah Bangka Belitung.

Namun, seiring berjalannya waktu, populasi suku di Kota Pangkalpinang menjadi semakin beragam dan tercampur dengan suku-suku dari luar Bangka Belitung.

6. Suku Tionghoa

Suku Tionghoa juga memiliki jumlah populasi yang cukup banyak di Bangka Belitung. Mereka sering terlibat dalam hubungan keluarga dengan Suku Melayu. Sejarah kehadiran masyarakat keturunan Tionghoa di Bangka Belitung dapat ditelusuri sejak masa pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam.

Pada periode tersebut, kesultanan membawa banyak tenaga kerja dari China untuk mendukung kegiatan pertambangan timah di wilayah Bangka Belitung. Orang-orang Tionghoa menjalin hubungan yang erat dan harmonis dengan penduduk lokal Bangka Belitung.

7. Suku Bugis

Suku Bugis adalah kelompok yang berasal dari Sulawesi dan menjadi suku aktif di Bangka Belitung. Kedatangan masif orang-orang Bugis ke Bangka Belitung dipengaruhi oleh sifat masyarakat mereka yang gemar menjelajah. Ada beberapa versi mengenai sejarah kedatangan Suku Bugis ke Kepulauan Bangka Belitung.

Pertama, populasi orang Bugis mulai meningkat di Bangka Belitung selama masa pemerintahan kolonial, terutama seiring dengan eksploitasi timah di daerah tersebut. Kedua, terdapat teori yang menyatakan bahwa orang Bugis telah aktif berada di Bangka Belitung jauh sebelum periode kolonial. Teori ini berdasarkan pada sifat menjelajah Suku Bugis, yang ditambah dengan fakta bahwa Bangka Belitung dikelilingi oleh laut.

8. Suku Jawa

Suku Jawa juga ada di kawasan Bangka Belitung hingga saat ini, mereka memiliki kontribusi dalam penataan wilayah Bangka Belitung. Kehadiran orang Jawa di daerah ini diyakini sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, meskipun pada awalnya tidak begitu signifikan.

Bangka Belitung dahulu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, yang terbukti dengan adanya peninggalan sejarah seperti Prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur, ditemukan di Pulau Bangka dengan angka tahun 608 C atau 686 Masehi, menjadi bukti awal keberadaan Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Meskipun kehadiran orang Jawa belum begitu mencolok pada masa itu, perkembangan signifikan terjadi setelah kekalahan Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-13. Setelah Sriwijaya tumbang, terjadi gelombang migrasi orang Jawa ke Bangka Belitung.

Beberapa alasan kuat melibatkan faktor sempitnya lapangan pekerjaan dan minimnya kepemilikan tanah di Jawa. Di sisi lain, Bangka Belitung pada saat itu memiliki luas tanah yang sebagian besar masih kosong dan belum dimanfaatkan. Hal ini mendorong banyak orang Jawa untuk bermukim di wilayah ini, membawa serta warisan budaya dan sejarah mereka.